Tuan Guru Umar Kelayu
‘Lombok Poros Makkah-Nusantara’
Status yang melekat pada tuan guru sebagai figur sentral dalam memberikan keteladanan kepada umat dengan ucapan, sikap, dan tindakan yang sejalan sehingga menjadi pribadi yang paling disegani, dituruti, dan ditaati dalam kultur masyarakat Sasak. Tuan guru menjadi pusat magnet peradaban dan keagamaan masyarakat sasak. Mengacu pada konseptualisasi tuan guru yang melekat pada Tuan Guru Umar Kelayu, maka dalam pribadi beliau terlihat perbedaan mencolok dengan status, fungsi, dan peran tuan guru dewasa ini. Mulai dari kiprah dan perjuangannya dalam syiar Islam dari Lombok ke Nusantara sampai luar negeri, bahkan banyak melahirkan tuan guru atau ulama yang memiliki pengaruh dan kontribusi dalam dinamika sejarah Islam Nusantara pada fase berikutnya.
Mendiskusikan tentang sejarah Lombok (sejarah etnis, agama, budaya, dan politik bahkan ekonomi) tidak dapat dilepaskan dari perjalanan nasib Lombok yang membentang dalam catatan mayoritas peneliti luar. Nasib Lombok yang terabaikan dari panggung pemenang sejarah telah banyak membentuk cara pandang hingga karakter mesyarakat Lombok, baik kelompok terpelajar maupun kelompok awam. Maksudnya ialah cara pandang mereka terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain. Hal ini, Lombok menjadi salah satu daratan empuk perwujudan poskolonial sehingga “Barat” dalam posisinya sebagai tanda super power menjadi keabadian tingi bagi masyarakat Lombok. Sedangkan “Timur” ialah kepingan dan sobekan daging luka yang mengguratkan prototipe rendah diri.
Kenyataan di atas menjadi salah satu alasan mendasar penelitian terhadap salah satu figur sentral peradaban Lombok awal dilakukan. Tradisi lisan masyarakat Lombok sudah dibanjiri titisan emas berlian karena dipnuhi oleh kebesaran Tuan Guru Umar Kelayu. Cerita lisan bersambut gayung hingga berbilang-bilanh turun-temurun. Namun fakta di luar sana: “Barat” tidak ada sekeping kisah pun yang menghiasi mulut sejarah agama dan budaya tentang Tuan Guru Umar Kelayu, khususnya dinukilan peneliti atau pakar luar. Dalam hal ini, pakar luar tampak seperti sudah terformat secara baku untuk melihat Lombok dan Sasak sebagai kelompok inferior. Lombok dan Sasak sebagai “jajahan sejarah” diletakkannya sebagai objek di tengah kekuasaan kelompok pendatang. Akibatnya, sejarah ketuanguruan (keulamaan-keilmuan) yang dalam perspektif masyarakat Sasak sendiri setara dengan bangsa superior tidak dapat ditemukan dalam arus panjang sejarah keulamaan Nusantara, terutama di ranah para peneliti. Kenyataan itulah yang dijumpai oleh kaum terpelajar Lombok sehingga mereka melakukan studi perbandingan antara kenyataan mereka sebagai orang Lombok dan fakta pandangan orang lain terhadap masyarakat Lombok.